Halaman

Minggu, 03 Juni 2012

Matarmaja III

Aku berjalan pelan menuju pinggiran jalan. Menanti beberapa lama dan kemudian datanglah yang aku tunggu. ABG, yang siap ku tumpangi dan mengantarkan aku ke terminal Gadang. Kami berdua masuk ke dalam angkot berwarna biru itu. Berjalan menyusuri kota Malang yang belum seberapa padat, melewati sebuah jembatan yang kata orang jembatan kali Brantas, kemudian sebuah fly over di dekat stasiun kota Lama yang tadi aku lewati. Jujur aku bingung dengan arah mata angin di sini, mana utara, selatan barat dan timur.
 ......
10.45

Aku turun di depan terminal yang mirip pasar itu, terminal Gadang, sungguh seperti pasar. Kemudian aku ditunjukkan arah menuju perhentian bis yang biasa nge tem. Sisi selatan, kata orang - orang disitu, walau menurutku itu adalah sisi utara. Satu persatu ku baca tulisan di kepala bis yang berjajar ke belakang. Malang - Dampit, Malang - Blitar, Malang - Tumpang, dan ... inilah yang ku butuhkan untuk mengantarkan ku ke tempat yang ku tuju, Malang - Lumajang.

Perlahan aku mulai menaiki tangga bis yang satu itu, Tak lupa kardus yang ku tenteng itu selalu ku periksa, takut kalau hilang, eman - eman. Tak berapa lama bis pun berangkat, sudah capek rasanya, badan pegel - pegel, keringat mliket, tapi tetep ngantuk. Seorang membawa nota kecil menepuk bahuku, yang belakangan aku ketahui bahwa itulah kondekturnya.
" Nandi mas".. tanyanya dengan logat Malang yang kental.
" Pal Daplang, " kataku sambil menyerahkan selembaran uang lima puluh ribuan.

Aku agak terkejut ketika menghitung kembalian nya, 9 ribu per orang, untuk perjalanan yang akan ditempuh selama 2 jam... Murah sekali, pikirku. beberapa hal yang aku temui biasanya seorang kondektur akan menarik tarif lebih mahal kepada orang yang "tak biasa menumpang", karena logat ku logat Jawa Tengah. Sebuah apresiasi tersendiri dalam hatiku untuk para pelaku transportasi di daerah sini.

Sudah lebih dari sejam aku menaiki bis ini, tapi belum sampai juga kata kernetnya yang aku tanyai dari tadi. Prinsipku sekarang adalah " Sering - sering bertanya, pas pada tujuan". Sebuah pemandangan membuyarkan lamunanku, begitu indah kulihat gunung Semeru menantang di sebelah timur. dengan sebagian besar berpasir, dan sesekali mengeluarkan asap seperti orang merokok. Betapa angkuhnya ia, apalagi di dukung dengan cuaca yang pada hari itu sangat cerah.

Aku terus memandanginya, meski sesekali terhalang pepohonan di pinggir jalan yang semakin meliuk - liuk bagai penari perut itu. Jalan dari Dampit ke Pal memang mengerikan buatku yang pertama kali merasakannya, banyak tikungan tajam dan sempit, untuk menyalip sangatlah susah, apalagi yang lewat disitu adalah truk - truk pengangkut pasir. Bila bertemu kendaraan besar salah satu harus berhenti.

Belum selesai ketakutanku, kulihat sebuah truk terguling di sisi sebelah kanan, truk pengangkut tebu. Hufft... aku menarik nafas perlahan, berharap semuanya baik - baik saja.

.....

12.50
"Pal - pal... siap - siap.." terdengar teriakan kernet di pintu depan. Akupun bersiap - siap, begitupun dengan Nadi yang sedari tadi tampak gelisah. Jantungku agak deg - degan juga, bagaimana sambutan keluarga kakakku nanti. Bis pun berhenti, Kami turun. Didepan kami sudah menyambut kakak ku beserta istrinya dan seorang bocah kecil dalam gendongan. " Angga" perhatianku justru terfokus padanya. baru kali ini aku melihat dengan sungguh - sungguh bocah kecil itu, selain pada waktu bayi. Bocah kecil yang kelak menemani hari - hariku selama dua tahun...

Seulas senyum terutas dari bibir mereka, kemudian kami bersalaman, Mas ku yang tampak masih berwibawa seperti dulu, namun kini menjadi lebih dewasa, mbak Sus yang terlihat semakin manis, Angga yang bingung tak tahu aku Om nya. Hemmh.. Suasana itu membuatku terharu..
Aku masuk rumah yang besar dan berwarna putih itu, sungguh rumah yang indah, dengan balkon setengah lingkaran di tiap - tiap terasnya, sebuah counter hp di bagian depan, meski hanya dengan sebuah etalasse kecil. Sebuah garasi yang dipenuhi dengan barang - barang rongsokan, dan sebuah Mitsubishi tua berwarna hijau dengan kepala cunong. Klasik.

Aku duduk di sofa berwarna merah hati, setelah bersalaman dengan seluruh keluarga, Pak Slamet, Mak Supar, Mbah Tun, dan kemudian Mbok Njas yang agak cacat kakinya, kemudian datang Cak Tris, Sopirnya Engkel Mitsubishi milik Pak Slamet tadi, yang bicaranya agak susah dan  pendengarannya agak kurang.

Ku Sruput kopi yang masih panas itu, kopi seperti yang selalu ku rindukan, kopi khas Malang buatan sendiri yang sangat enak. Dan pada saat itu aku tak sadar, kopi itu yang akan menemaniku untuk 2 tahun kedepan, karena inilah awal sebuah kisah yang akan selalu ku ingat..
Malang... aliran darahku berdesir ketika menyebutnya. Sejuta kenanganku tertinggal disana..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebenarnya blog ini berisi catatan bebas, yang tak berarti apa - apa, jadi jangan terlalu diambil hati. Jika ingin berkomentar mohon berkomentar secara bijak. Suwun..