Halaman

Minggu, 20 Oktober 2013

Bangun...

Akhirnya ku punya kesempatan untuk menjelajah dunia maya ini.. kembali mencari apa yang ingin ku cari.. kembali melihat apa yang ingin ku lihat.. disini seakan semuanya tak terbatas..

Dan akhirnya ku terpaku oleh sederetan foto-foto masa silam di akun sahabat-sahabat lamaku.. entah sudah seperti apa mereka sekarang, entah mereka menjadi apa sekarang.. pertanyaaan itu berlalu lalang dalam benakku.. Aku merasa terkucil disini.. tertinggal atas apa yang mereka capai.. aku akan menjadi apa, bahkan aku tak pernah bisa menentukan..

Dan.... kupijat-pijat tuts keyboard di depanku.. aku tak lagi lincah seperti dulu.. tapi... lama lama aku terbiasa.. dan mengingatkan ku kembali bahwa ini adalah pekerjaan sehari-hari ku dulu.. monitor.. kayboard,.. modem... google... backlink... ah... seakan aku mulai lupa dengan semuanya... menjadi tua oleh keadaan yang ku jalani sekarang...

Apakah aku akan terus seperti ini.. berdiam... menunggu... bersembunyi dari sesuatu yang entah aku tak pernah tahu, sesuatu yang bahkan tak pernah mengejarku, mencariku, maupun mengancamku... aku merasa semakin hilang... dan hilang.... aku tak lagi memberikan komentar atas tulisan sahabat di blog, bahkan aku tak pernah melihat apa yang mereka temukan.. seperti apa cerita mereka sekarang...

Akh... mungkin aku akan kembali... beranjak dari keterlenaan ini.. keterlenaan yang ku paksa paksaan... keterlenaan dalam kesederhanaan dan pas-pasan...

sma

konco kampus

poro instruktur

seminar
munggah gunung
Sahabat.. aku akan menyusulmu... menjelajah kembali waktu yang hilang... bersatu kembali mendaki puncak-puncak kebanggaan... dan menjalani hidup ini dengan lebih rumit seperti dulu daripada hidupku sekarang yang sederhana...

Senin, 22 Juli 2013

Aku rindu

Aku merindukan hari lalu....
Saat udara malam menusuk tubuhku yang menggigil...
Saat nafasku memburu.. berlomba dengan seantero kabut yang menghalangi pandanganku...
Saat embun menitik di setiap pori kulitku... tanpa ku rasakan...
Saat aku memulai pendakianku di malam - malam itu...

Aku merindukan saat itu...
Ketika berlomba dengan malam, mendirikan dome di rerumputan...
Menyibak kabut... menyalakan sepercik api...
Menghadirkan unggun.. menghangatkan badan...
Bercanda, menghisap sebatang kretek dan segelas kopi di mangkuk....

Akh..
Aku ingat malam itu...
Saat badai menerjang... seakan aku akan tamat disana...
Lembaran ilalang.. selalu menjadi pegangan...
Melintasi terjal bebatuan.. menanti sunrise.
Menuju puncak...

Gunung demi gunung..
Puncak demi puncak....
Berilah aku kesempatan kembali...
Untuk mengagumimu... untuk mendakimu....
Untuk menemukan destinasiku....

Cemara... hutan... badai...
Ilalang.. lamtoro.. embun..
Pepasiran.... batu... sunrise..
Kawah.... puncak... edelweis...

Aku rindu....

Senin, 10 Juni 2013

Rahwana Pensiun

SEBUAH siluet keperakan membelah birunya langit Ayodya. Gerakannya melesat cepat, kalau nggak cepat bisa lewat… Di ujung gerakan, tampak bahwa siluet itu adalah Anoman, si Wanara Seta alias kera putih. Keringat bermunculan dan mengaliri tubuhnya. Sambil mengembuskan napas panjang, dia seka keringat yang derodosan di bathuk-nya.

Saat detak jantunya sedikit tenang, Anoman merogoh kantong celananya. Brrr, catatan keuangan tiap bulan. Itu yang selalu keringatnya gemrobyos dan jantungnya melompat-lompat nggak karuan.
Di ruang pribadinya, ruang kepala sipir Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kendalisada, Anoman segera larut dalam tumpukan laporan keuangan. Tat-tit-tut-tat-tit-tut, kalkulator itu menunjukkan besarnya biaya untuk menangkap kembali Rahwana yang sudah berkali-kali menjebol pertahanan penjara. Padahal, LP itu dibuat khusus untuk mantan Presiden Alengka yang dilengserkan lewat SI MPR (Serangan Istimewa Monyet Prajurit Ramawijaya) tersebut. Pengamanan penjara pun dibuat sangat istimewa, maximum security-lah gampange.
Angka di kalkulator kian bertambah setelah Anoman menambahkan biaya bulanan listrik dan telepon. ”Waduh, tobat, tobat! Nombok lagi, nombok lagi. Cape decch,” kata Anoman sambil memonyongkan bibir dan menepuk dahi. Genit banget.
Mau tak mau, dia pun kudu laporan ke Presiden Ramawijaya, atasannya, yang sekarang berkuasa di Ayodya. Akhirnya, di depan sang Presiden, Anoman men-jlentreh-kan laporan keuangan penjara yang menjadi tanggung jawabnya.
”Mbok dijadikan tahanan kota atau dibebaskan saja,” kata Semar. Setelah menimbang-nimbang, Ramawijaya memutuskan untuk membebaskan Rahwana tanpa syarat. Itu karena neraca keuangan Ayodya defisit dalam sejarah dunia pewayangan.
Didampingi Semar, Anoman menemui Rahwana yang sedang melamun dengan tatapan mata kosong. ”Rahwana, karena perbuatan baikmu akhir-akhir ini, plus ada grasi, hari ini kau dibebaskan tanpa syarat,” kata Anoman tegas.
Tapi, Rahwana cuek bebek, eh, cuek raksasa, ding.. .. Dia tetap mematung tanpa menggubris omongan Anoman. Akhirnya, Anoman pun harus mengulangi omongannya, lebih tegas dan keras.
”Gah, weegaaah! Aku gak mau bebas. Aku malu melihat kondisi di luar sana,” jawab Rahwana dingin. Semar dan Anoman saling pandang. Semar mendesak Rahwana untuk mengungkapkan maksud sebenarnya. Tapi, Rahwana cuma menggeleng. Cari sendiri, katanya.
***
Anoman lantas bergegas masuk ke ruang kerja. Jarinya mengurutkan beberapa rekaman kasus kejahatan yang berhasil terdokumentasi. Dua kaset dia bawa ke ruang tahanan Rahwana.
Kaset pertama, berisi file kejahatan perang, dimasukkan ke player. Setelah mendesis pelan, player itu pun mulai memunculkan gambar-gambar. Tampak Kresna berjalan tegang sambil mondar-mandir menunggu seseorang. Pikirannya bekerja keras untuk mendorong Parikesit menjadi Presiden Ngastina.
Beberapa menit kemudian yang ditunggu datang, Wisanggeni. Kresna pun minta Wisanggeni mencari asal-usulnya. Wisanggeni diiming-imingi hadiah dan santunan asuransi jika maju ke medan Bharata Yuda. Wisanggani pun menyanggupi permintaan Presiden Dwarawati yang sangat serius itu.
Dia pun langsung sanggup dan berangkat mencari asal-usulnya. Sampai akhirnya, Wisanggeni bersua dengan Dewa Api. Sang dewa berkata, unsur api begitu kuat membentuk Wisanggeni. Sehingga, kalau Wisanggeni turun ke Bharata Yuda, dia pasti menang tanpa tanding. Tapi, Wisanggeni lalu menolak. Dia memilih moksa dengan memasukkan dirinya ke dalam api yang mulad-mulad.
***
”Itukah yang bikin kamu malu, Rahwana,” kata Semar. ”Dudu. Bukan itu! Ada yang lebih ngeri,” kata raksasa yang pernah punya sepuluh kepala tersebut.
Akhirnya, Anoman pencet tombol next pada remote control. Yang tampak pada layar adalah dokumentasi kasus penimbunan. Film itu menunjukkan ribuan petani yang long march dari bundaran Ngamarta ke gedung Menteri Pertanian. Demo para tani itu dikomandoi Petruk, Gareng, dan Bagong.
Pada masa itu, sebagai petani, kehidupan yang mereka hadapi memang kian ketat mencekik. Meski apa-apa naik, tapi, mereka minta suplai pupuk bersubsidi tetap transparan. ”Ini kapitalisme! Pupuk bersubsidi ditimbun! Yang diedarkan nonsubsidi. Jangan mokal dooong,” seru Petruk. Teriakan nyerocos di bawah hidung superpanjang itu disambut gempita ribuan petani. Mereka minta bertemu dengan Menteri Pertanian Burisrawa.
**
Tapi, skandal Menteri Burisrawa itu ternyata tak terlampau menggetarkan hati Rahwana. ”Gimana sih lu-lu pade? Masak kagak tau kalo ada kejahatan nyang lebih nyebelin, lebih bikin keki, lebih menyakiti hati masyarakat,” saking marahnya, logat Rahwana pun campur baur tak karuan.
Semar dan Anoman hanya beradu pandang tanpa bisa berkata-kata. Mereka bertanya-tanya, adakah kejahatan yang begitu dahsyat? Sedemikian dahsyat sehingga Rahwana pun ”minder”? Begitu hebatnya kejahatan itu sehingga Rahwana, raksasa mahajahat bermuka sepuluh yang nggak bisa mati tersebut memilih tetap tinggal merenung di dalam penjara?
Rahwana lantas beranjak dari duduknya. Dia berbisik, rakyat sudah sedemikian marah, mereka tertipu tingkah polah anggota dewan.
Rahwana lalu nyaut remote control TV. Dia pencet nomor satu, ngepasi acara Breaking News. Mulut si pembawa acara meluncurkan sebaris kata-kata, ada lagi anggota dewan yang kena kasus suap alias korupsi. Kali ini lewat tender pengadaan perahu-perahu penyeberangan.
”Malu.. . Malu aku. Aku memang penjahat, kami memang sama-sama penjahat. Tapi, sekarang, ach..,” Rahwana tak sanggup meneruskan. Beberapa bulir air mata meleleh mengikuti lekuk tulang pipinya. (*)

*Wayang Indonesia

Selasa, 02 April 2013

Unjuk Rasa Badut-Badut

WIS meh sebulanan iki rumah tangga Gareng kacau balau. Dapurnya ndak terlalu ngebul lagi. Gara-garanya, penonton dagelan sepi. Pendapatan pelawak turun drastis persis jalanan di Klakah nek Sampeyan dari Lumajang ke Probolinggo. Masyarakat lebih tertarik nonton kasus KPK, kejaksaan, dan polisi. Masyarakat lebih kepingkel-pingkel sampai mbrebes mili matanya seperti orang nangis saking nggak kuatnya menahan geli.

Petruk dan istrinya pernah tukaran habis-habisan entek ngamek. Petruk mbanting pintu. Istrinya, Dewi Undanawati, mbanting piring. Adik Gareng itu nendang meja. Dewi Undanawati ndugang panci. Tapi ribut-ribut suami-istri itu mak jleg rampung begitu televisi menyiarkan kasus KPK-Polri. Petruk segera ngakak. Istrinya terbahak-bahak juga malah lebih keras. Keduanya kemudian rangkulan sambil cekikikan. Baru tiba-tiba keduanya menangis ketika dapat telepon dari Gareng, ”Ojok seneng disik talah, nek pejabat lebih lucu daripada awake dewe…terus sing nonton awake dewe nanti siapa…Kalau kita gak kuat beli makanan, mbadog opo…?”
Petruk melepas rangkulannya. Istrinya juga melepas rangkulan. Keduanya termenung di sudut ruang. Menangis. Ujuk-ujuk datang­lah bungsu panakawan, Bagong. Dia menanyakan apakah ada job bulan ini. Soalnya dapurnya sudah tiga minggu ini tidak nya­la. Istrinya, Dewi Bagnowati di Pucangsewu sudah bete terus. Petruk melihat kalender yang ditempel di dinding gedheg rumahnya. Dia kaget ternyata dari tiga minggu lalu sampai sebulan ke depan belum ada tanggal yang dibunderi, tanda tak adanya job pementasan. Tambah membik-membiklah Petruk.
Belum pernah dalam sejarah Petruk yang easy going sesuai namanya, Kantong Bolong, itu menangis. Bagong sing adate lugu walaupun cerdas mak blas lari ke tempat Gareng di Bluluktibo. Kembali lagi ke tempat Petruk di Kembangsore dia sudah nyangking Gareng. Bagong minta diadakan rapat dadakan. Tibalah rapat pada keputusan. Diputusno nek tiga-tiga-ne akan demo turun ke jalan. Mereka nuntut agar seluruh penyelenggara negara tidak cuma dites kesehatannya dan track record-nya seperti pada fit and proper test. Mereka meminta calon-calon pejabat itu dites juga oleh para psikolog apakah punya bakat nglawak. Kalau punya bakat melawak, jangan jadi pejabat, suruh saja jadi pelawak.
Persoalan muncul. Siapa pendukung demo. Mosok demo mek wong telu. Nek misale Semar tahu-menahu materi rapat ini, si mbah bisa disambati mencari dukungan sana-sini. Si mbah bisa telepon temen-temene yang sudah tua dan nganggur baik di kota pensiunan seperti Temanggung maupun Rogojampi. Pasti mereka segera datang tumplek turun ke jalan. Demo panakawan akan terlihat banyak pendukungnya. Tapi, persoalannya, Semar belum tahu masalah ini dan anak-anaknya tidak berani memberi tahu rencana mereka.
***
Jer basuki mowo beo. Tidak ada yang gratis di dunia ini bahkan untuk nonton lumpur Lapindo. Para pemuda dan masyarakat Porong dan sekitarnya telah ”mengkapling-kapling”-nya seperti daerah wisata, dan para pengunjung mesti bayar. Dan itu bagus buat kesejahteraan bersama. Begitu juga dengan demo. Petruk punya ide bagaimana kalau sisa celengan patung Batara Narada dipecah. Duitnya dipakai untuk membayar demonstran.
Alasan Petruk, setiap orang yang kecewa di negeri ini bisa membayar kaum demonstran. Demonstran saat ini sudah nyaris jadi profesi seperti modin alias penghulu, tukang sunat, dan juru dakwah. Kabeh pakai bayaran. Orang-orang yang kecewa itu tinggal mbayar siapa yang mau bengak-bengok keleleran nduk jalanan sambil mengepal-ngepalkan tangan.
Gareng mengungkap, ”Karena kita tidak punya kata sportif. Kita cuma punya kata legowo. Sportif itu mengaku kalah dan mengakui kemenangan pihak lain. Legowo itu mengaku kalah, tetapi tidak mengakui kemenangan pihak lain…”
Petruk jengkel pada teori Gareng, ”Ya sudahlah…Yang penting kita sudah dikasih tauladan bahwa orang yang kalah biasanya mbayar demonstran. Jadi, apa salahnya kita-kita kaum panakawan ini juga ngamplopi para demonstran.”
Celengan hampir dipecah, tapi Gareng buru-buru menyela, ”Tunggu dulu. Nggak sayang kamu mecah patung Narada? Nggak kuwalat? Dia kan Sekjen para Dewata?”
Wah, sayang bagaimana. Justru bagi Petruk dan Bagong, Sekjen yang merangkap sekretaris kabinet Dewata Bersatu itu terlalu banyak melawak. Lihat saja setiap kali ngomong selalu diawali dengan ”blegenjong blegenjong pak pak pong pak pak pong waru doyong ditegor nguwong…” Terus mulutnya selalu cengengesan seperti Sengkuni. Ini yang, menurut Petruk, kemudian ditiru oleh para pejabat. Jadilah para pejabat sekarang podo dadi badut. Jadi, menurut Petruk, pemecahan celengan patung Narada ini sekaligus simbol awal demonstrasi mengakhiri guyonan para petinggi. Tanpa ba bi bu, ndak srantan Bagong mecah celengan dimulai dari cangkeme Narada.
Plethak…pyur…pyur…pyur….!!!
Duit berantakan di ruang tamu Kembangsore. Kebanyakan lembar dua ribuan baru. Maklum sejak Bank Pandawa mengeluarkan lembar uang 2000-an yang mirip Dua Puluh Ribu Panakawan sering dapat tips 2000 itu, ya dari Kresna, dari Bima, dari Yudistira, dari Arjuna. Biasanya, sebelum lembar baru itu keluar, para petinggi ngasih 20.000. ”Buat beli rawon,” biasanya begitu kata Arjuna. Sekarang mereka mbeseli 2000, tapi tetap pesannya sama, ”buat beli rawon.” Mana ada rawon harga 2000? Kecuali rawon kampus untuk mahasiswa kelas (maaf) kere di Universitas Negeri Jember.
”Ini Ndoro Arjuna pura-pura salah ngasih 20.000 padahal cuma 2000, atau sengaja nglawak supaya kita cuma bisa beli sego kucing?” gerutu panakawan yang lalu-lalu, kemudian sambil kesel memasukkan semua itu ke dalam celengan saja, dan mereka memutuskan berpuasa.
Nah, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Dua ribu demi dua ribu lama-lama banyak juga. Kini duit itu berantakan dan munjung di lantai tanah dari celengan Narada yang pecah. Persoalan muncul lagi. Ternyata, tidak ada satu pun warga peng­ang­guran yang mau dibayar untuk mendukung demonstrasi.
”Emoh,” begitu rata-rata kaum penganggur yang ditawari amplopan demo. ”Nanti saya ketinggalan siaran langsung televisi. Pejabat kita lucu-lucu. Kami ini haus hiburan. Maklum kami ini kan para pengangguran. Kami perlu tontonan segar.”
Yang lain bilang, ”Sampeyan ini mbok nglawak saja di depan kami. Jangan nawari demo. Ayo nglawak! Tak tonton. Saya itu kalau ketawa lupa bahwa saya itu nganggur.”
Ada yang sama sekali malah tidak menengok ke arah panakawan yang mendatangi mereka. Mata mereka terus ke televisi. ”Lihat…lihat…” Tangan dan wajah mereka menuding ke televisi, mengajak agar para panakawan juga menonton televisi dan menghentikan tawaran demonya, “Lucu kan…orang-orang pasar sekarang sombong-sombong. Kadang-kadang kambil dan teri ndak bisa ditawar…Padahal perkara pengadilan saja bisa ditawar-tawar…”
”Dengar, kan?” yang lain nyeletuk. ”Lucu….Memang setiap perkara di pengadilan ada harganya. Dan, setiap perkara bisa ditawar…dan nek iso…ojok larang-larang, Rek….Jangan mahal-mahal. Nah nek harganya wis ketemu…ayo makan-makan. Opo maneh nek wis suwi gak tau mangan enak…”
Ibarat kesabaran istri pada suami, semua kesabaran ada batasnya. Seminggu nggak dapat dukungan demo, panakawan putus asa. Sampai suatu pagi datanglah satu per satu dukungan. Mereka adalah warga penganggur yang semula menolak demo.
Seseorang bilang dengan serius, mengaku sebagai pengagum Markuat, Markeso, Durasim. ”Tadi malam saya bermimpi bertemu dengan almarhum pelawak Cak Markuat, Cak Markeso, dan Cak Durasim. Mereka setuju demo yang Sampeyan gagas. Kalau pejabat ikut-ikutan melawak, nanti pelawak ndak laku. Kasihan keluarganya…Sekarang saya bersedia untuk ikut demo bahkan kalau misalnya tanpa dibayar…”
Datang lagi yang lain. Dia pengagum Warkop DKI. Dia bilang, sambil sesenggukan, ”Kemarin siang, saya berdiri di puncak Argopuro, tiba-tiba seperti saya lihat ada Mas Dono Warkop dan Mas Kasino Warkop di depan saya. Mereka seperti melotot ke saya dan bilang eh elo ngapain kagak mau ikutan demo pelawak? Ini penting buat masa depan pelawak. Bagaimana pelawak bisa hidup, kalau para pejabatnya jauh lebih bodor daripada badut…”
Datang satu tumbuh seribu. Tanpa nyana jumlah pendukung demo panakawan kini sudah mencapai ribuan. Mereka terdiri atas beragam bekas pekerja. Ada yang mantan pekerja petani garam yang kini nganggur. Ada yang bekas tukang ukir yang kini kerjanya thengak-thenguk. Ada bekas penambak udang yang sudah setahun ini ndlongop saja kerjanya. Wah macem-macem. Ada juga bekas penyanyi campur sari yang kini tergeser organ tunggal dan kerjanya cuma ”Menghitung Hari” seperti Kris Dayanti. Belum lagi bekas dalang, karena sudah makin jarang sekarang orang punya hajat yang kuat nanggap wayang.
Berbagai foto pelawak melengkapi poster-poster demonstran. Di sudut sana kita lihat poster Asmuni. Nun di sana lagi kita lihat poster Basuki. Wah, ada juga poster Benyamin S. dan Bing Slamet. Poster Bagio dan Basiyo diumbul-umbulkan di tempat lain lagi. Fantastis!
Negara gonjang-ganjing. Panawakan menuntut para pejabat keluar dari kantor masing-masing dan bersatu menyambut demonstran. Para pejabat akhirnya berkumpul dan menyambut para demonstran.
Jutaan demonstran akhirnya menyerbu para pejabat. Panakawan senang menyaksikan adegan itu. Sayangnya, kemudian mereka menangis.
Ternyata….ternyata….
Begitu melihat wajah pejabat secara langsung, kaum demonstran berubah pikiran. Jutaan orang yang merangsek ke depan menemui pejabat itu bukan hendak mendamprat dan menyampaikan unek-unek. Mereka justru pengin salaman dan mengucapkan terima kasih selama ini sudah sangat menghibur rakyat. ”Ternyata aslinya lebih lucu dari yang di televisi,” teriak mereka. Banyak yang minta foto bersama.
Gareng, Petruk, Bagong pulang satu per satu.
Tertunduk.
Gerimis.

Sabtu, 19 Januari 2013

Komentar dari komentar..

Lama sekali tidak saya meninggalkan rumah ini, tak terasa sudah dua bulan tidak ngopeni rumah yang sederhana ini... Sekarang jari-jari ini pun menjadi kurang familier dengan tuts tuts keyboard.. karena lebih sering milihi rosok an..

Ada banyak hal yang kadang kala ingin ku tuliskan di blog ini, yang kadang tak bisa di tabung untuk dituliskan keesokan hari atau sebentar lagi.. karena inspirasi itu sangat gampang hilang atau mungkin lebih tepatnya berubah - ubah.  Dan repotnya pas pegang internet yang ada komputernya malah sedang tidak merasakan apapun.. maksudnya tidak ada inspirasi apa-apa...

Makanya sekarangpun tidak ada inspirasi apa-apa dan saya tidak mau bercerita apa - apa, yang penting bisa menuliskan hurup - hurup walaupun itu tidak menceritakan apa - apa... Sahabat - sahabat blogger sebenaranya saya sudah sangat rindu membaca kata - kata lucu atau cerita - cerita konyol sahabat semuanya... Walaupun kadang- kadang cerita itu tidak saya baca semuanya , eits... salah maksudnya saya cuma baca komentar- komentar sebelumnya saja, jadinya ikut - ikutan komentar tanpa tahu ada hubungannya atau tidak...

Oia.. mengenai komentar- komentar yang membuat orang lain berkomentar, mungkin itulah penyebab terjadinya kesalah pahaman antar orang... seringkali manusia tak mau mendengarkan fakta, hanya mendengarkan komentar - komentar lantas ikut berkomentar, kata orang jawa "ora ngerti kentang kimpule"... jadi akhirnya hurup yang berawal a menjadi berawal e....

Oalah yo mbuh olah... wong nyatane sedang tidak ada inspirasi, jadi ya mohon maaf kalo tulisanya dari kiri ke kanan.. ehh... ngalor ngidul... hanya sekedar saran, mungkin akan lebih bijaksana jika seseorang mendengarkan dulu faktanya baru berkomentar, daripada berkomentar atas dasar komentar- komentar...

Ojob...
Okelah.. minal paidin wal paizin,,, mohon maap lahir batin...... semoga saya di maafkan atas kekeliruan saya.... Atas komentar-komentar saya yang kadang atas dasar - komentar- komentar, karena mau baca semuanya males...tulisannya panjang... mumet.... maapp....