Halaman

Senin, 10 Juni 2013

Rahwana Pensiun

SEBUAH siluet keperakan membelah birunya langit Ayodya. Gerakannya melesat cepat, kalau nggak cepat bisa lewat… Di ujung gerakan, tampak bahwa siluet itu adalah Anoman, si Wanara Seta alias kera putih. Keringat bermunculan dan mengaliri tubuhnya. Sambil mengembuskan napas panjang, dia seka keringat yang derodosan di bathuk-nya.

Saat detak jantunya sedikit tenang, Anoman merogoh kantong celananya. Brrr, catatan keuangan tiap bulan. Itu yang selalu keringatnya gemrobyos dan jantungnya melompat-lompat nggak karuan.
Di ruang pribadinya, ruang kepala sipir Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kendalisada, Anoman segera larut dalam tumpukan laporan keuangan. Tat-tit-tut-tat-tit-tut, kalkulator itu menunjukkan besarnya biaya untuk menangkap kembali Rahwana yang sudah berkali-kali menjebol pertahanan penjara. Padahal, LP itu dibuat khusus untuk mantan Presiden Alengka yang dilengserkan lewat SI MPR (Serangan Istimewa Monyet Prajurit Ramawijaya) tersebut. Pengamanan penjara pun dibuat sangat istimewa, maximum security-lah gampange.
Angka di kalkulator kian bertambah setelah Anoman menambahkan biaya bulanan listrik dan telepon. ”Waduh, tobat, tobat! Nombok lagi, nombok lagi. Cape decch,” kata Anoman sambil memonyongkan bibir dan menepuk dahi. Genit banget.
Mau tak mau, dia pun kudu laporan ke Presiden Ramawijaya, atasannya, yang sekarang berkuasa di Ayodya. Akhirnya, di depan sang Presiden, Anoman men-jlentreh-kan laporan keuangan penjara yang menjadi tanggung jawabnya.
”Mbok dijadikan tahanan kota atau dibebaskan saja,” kata Semar. Setelah menimbang-nimbang, Ramawijaya memutuskan untuk membebaskan Rahwana tanpa syarat. Itu karena neraca keuangan Ayodya defisit dalam sejarah dunia pewayangan.
Didampingi Semar, Anoman menemui Rahwana yang sedang melamun dengan tatapan mata kosong. ”Rahwana, karena perbuatan baikmu akhir-akhir ini, plus ada grasi, hari ini kau dibebaskan tanpa syarat,” kata Anoman tegas.
Tapi, Rahwana cuek bebek, eh, cuek raksasa, ding.. .. Dia tetap mematung tanpa menggubris omongan Anoman. Akhirnya, Anoman pun harus mengulangi omongannya, lebih tegas dan keras.
”Gah, weegaaah! Aku gak mau bebas. Aku malu melihat kondisi di luar sana,” jawab Rahwana dingin. Semar dan Anoman saling pandang. Semar mendesak Rahwana untuk mengungkapkan maksud sebenarnya. Tapi, Rahwana cuma menggeleng. Cari sendiri, katanya.
***
Anoman lantas bergegas masuk ke ruang kerja. Jarinya mengurutkan beberapa rekaman kasus kejahatan yang berhasil terdokumentasi. Dua kaset dia bawa ke ruang tahanan Rahwana.
Kaset pertama, berisi file kejahatan perang, dimasukkan ke player. Setelah mendesis pelan, player itu pun mulai memunculkan gambar-gambar. Tampak Kresna berjalan tegang sambil mondar-mandir menunggu seseorang. Pikirannya bekerja keras untuk mendorong Parikesit menjadi Presiden Ngastina.
Beberapa menit kemudian yang ditunggu datang, Wisanggeni. Kresna pun minta Wisanggeni mencari asal-usulnya. Wisanggeni diiming-imingi hadiah dan santunan asuransi jika maju ke medan Bharata Yuda. Wisanggani pun menyanggupi permintaan Presiden Dwarawati yang sangat serius itu.
Dia pun langsung sanggup dan berangkat mencari asal-usulnya. Sampai akhirnya, Wisanggeni bersua dengan Dewa Api. Sang dewa berkata, unsur api begitu kuat membentuk Wisanggeni. Sehingga, kalau Wisanggeni turun ke Bharata Yuda, dia pasti menang tanpa tanding. Tapi, Wisanggeni lalu menolak. Dia memilih moksa dengan memasukkan dirinya ke dalam api yang mulad-mulad.
***
”Itukah yang bikin kamu malu, Rahwana,” kata Semar. ”Dudu. Bukan itu! Ada yang lebih ngeri,” kata raksasa yang pernah punya sepuluh kepala tersebut.
Akhirnya, Anoman pencet tombol next pada remote control. Yang tampak pada layar adalah dokumentasi kasus penimbunan. Film itu menunjukkan ribuan petani yang long march dari bundaran Ngamarta ke gedung Menteri Pertanian. Demo para tani itu dikomandoi Petruk, Gareng, dan Bagong.
Pada masa itu, sebagai petani, kehidupan yang mereka hadapi memang kian ketat mencekik. Meski apa-apa naik, tapi, mereka minta suplai pupuk bersubsidi tetap transparan. ”Ini kapitalisme! Pupuk bersubsidi ditimbun! Yang diedarkan nonsubsidi. Jangan mokal dooong,” seru Petruk. Teriakan nyerocos di bawah hidung superpanjang itu disambut gempita ribuan petani. Mereka minta bertemu dengan Menteri Pertanian Burisrawa.
**
Tapi, skandal Menteri Burisrawa itu ternyata tak terlampau menggetarkan hati Rahwana. ”Gimana sih lu-lu pade? Masak kagak tau kalo ada kejahatan nyang lebih nyebelin, lebih bikin keki, lebih menyakiti hati masyarakat,” saking marahnya, logat Rahwana pun campur baur tak karuan.
Semar dan Anoman hanya beradu pandang tanpa bisa berkata-kata. Mereka bertanya-tanya, adakah kejahatan yang begitu dahsyat? Sedemikian dahsyat sehingga Rahwana pun ”minder”? Begitu hebatnya kejahatan itu sehingga Rahwana, raksasa mahajahat bermuka sepuluh yang nggak bisa mati tersebut memilih tetap tinggal merenung di dalam penjara?
Rahwana lantas beranjak dari duduknya. Dia berbisik, rakyat sudah sedemikian marah, mereka tertipu tingkah polah anggota dewan.
Rahwana lalu nyaut remote control TV. Dia pencet nomor satu, ngepasi acara Breaking News. Mulut si pembawa acara meluncurkan sebaris kata-kata, ada lagi anggota dewan yang kena kasus suap alias korupsi. Kali ini lewat tender pengadaan perahu-perahu penyeberangan.
”Malu.. . Malu aku. Aku memang penjahat, kami memang sama-sama penjahat. Tapi, sekarang, ach..,” Rahwana tak sanggup meneruskan. Beberapa bulir air mata meleleh mengikuti lekuk tulang pipinya. (*)

*Wayang Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebenarnya blog ini berisi catatan bebas, yang tak berarti apa - apa, jadi jangan terlalu diambil hati. Jika ingin berkomentar mohon berkomentar secara bijak. Suwun..